Welcome to the websit National Awakening Party

We present to you, fill the public space as a means of exchanging information for the transaction amount so as to create the climate of transparency into the culture of clean government, good and authoritative.

We expect suggestions, feedback and even criticism from you, in order to improve our service to the community, so we really diterma existence

Minggu, 26 Desember 2010

Refeksi akhir tahun

Perjalanan Bangsa Indonesia

Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang direbut melalui, berbagai perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya, peperangan terbuka dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendiri negara kita terdahulu (pahlawan bangsa), tidak dimaksudkan untuk membuat Khilafah Islamiyah. Mereka sadar betul baik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Persis, Nasionalis dan kelompok lainnya yang ikut berjuang, merebut kemerdekaan, mereka berjuang hanya untuk satu tujuan, yaitu Kemerdekaan Indonesia.

Sejarah panjang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, telah banyak mengorbankan ratusan ribu jiwa, mereka berjuang tanpa pamrih, tanpa embel-embel ingin jadi presiden atau mentri, bahkan tidak terpikirkan untuk jadi bupati sekalipun. Perjuangan mereka semata ditujukan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang kejam dan tidak berprikemanusiaan.

Ketulusan perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan, teruang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Ini adalah bentuk komitmen yang telah dibuat dan dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini. Komitmen ini tidak boleh dikhianati oleh siapapun, kapanpu dan dimanapun. termasuk oleh kelompok orang yang mengatas namakan agama, yang ingin membuat Negara Islam Indonesia (NII), dengan jargon Saatnya Khilafah Islamiyah memimpin dunia.

Pantaskan orang yang tidak pernah berjuang, mengangkat senjata, memerdekakan Indonesia, kemudian ingin mengubah NKRI menjadi Khilafah Islamiyah ???

Jauh sebelum merdeka NU sudah mempunyai pandangan tersendiri tentang Indonesia. Sejak zaman prakemerdekaan, Nahdlatul Ulama sebagai basis organisasi kaum tradisionalis Islam Indonesia, yang terdiri atas para kiai dan santri di Jawa, telah memainkan peran yang sangat penting dalam menyusun barisan anti penjajahan. Ketika organisasi ini didirikan pada tanggal 31 januari 1926 oleh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Chasbullah, tujuan awalnya memang bukan untuk menciptakan kekuatan politik yang secara frontal melawan penguasa Belanda. la lahir sebagai suatu wadah bergabungnya para ulama dalam, memperjuangkan "tradisi pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sesuai dengan kultur Indonesia" yang oleh kaum pembaru dianggap bid'ah karena menurut mereka tidak sesuai dengan AI‑Qur'an dan sunnah. Tuntutan nurani sebagai manusia merdeka, mendorong Nahdlatul Ulama tidak pernah tinggal diam dalam mengupayakan kemerdekaan.
Rumusan perjuangan NU dalam merebut kemerdekaan, sudah terlihat dari hasil muktamar kedua, yang diselenggarakan pada tanggal 14 –16 Rabiul Tsani 1346 H  bertepatan dengan (9-11 Oktober 1927) bertempat di Hotel Muslimin Jalan Paneleh Surabaya. Muktamar kedua menghasilkan putusan politik; Pertama meminta kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memasukan kurikulum Agama Islam pada setiap sekolah umum di Jawa dan Madura. Kedua masalah perkawinan dibawah umur. Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah Hindia Belanda agar orang yang akan dijadikan penghulu atau naib itu, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan para Ulama setempat.
Semangat untuk memposisikan diri menjadi tuan dinegrinya sendiri terus diguliskan. Perlawanan ter hadap penjajah baik secara diplomasi, maupun secara mengangkat senjata terus dilakukan.
Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke XV diadakan pada tanggal 15-21 Juni 1940 M  yang bertempat di Surabaya, NU sudah mempunyai daya pandang tersendiri tentang masa depan bangsa ini. Sehingga pada muktamar tersebut NU menghasilkan putusan mengenai sikap NU terhadap calon pemimpin Nasional. Dalam Muktamar ini NU telah yakin bahwa kemerdekaan akan segera tercapai, sehingga perlu mengadakan rapat tertutup guna membicarakan siapa calon yang pantas untuk menjadi Presiden pertama Indonesia. Rapat rahasiah ini hanya diperuntukan 11 orang tokoh NU, Rapat dipimpin oleh KH.Mahfudz Siddiq dengan mengetengahkan dua nama: IR.SOEKARNO dan DRS.MUHAMMAD HATTA. Rapat berakhir dengan kesepakatan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dengan dukungan sepuluh suara, sedangkan Drs.Muhammad Hatta sebagai wakilnya dengan dukungan satu suara (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).
Perjuangan NU dalam memerdekakan bangsa ini tidak mengharapkan balas jasa, tetapi NU tidak rela melihat Bangsa ini terkoyak-koyak karena perbedaan Idiologi, Indonesia harus tetap menjadi NKRI, sebab bagi NU NKRI harga mati. (Ahmad Zamakhsyari).